Kamu seperti apa? Bagaimana sifatmu, perilakumu, bahkan
perasaanmu, hingga kini aku belum memahaminya.
Kamu begitu
berbeda. Sejak awal aku sudah tahu itu, tapi entah mengapa aku berusaha menepis
pikiran pikiran liar itu. Aku sengaja menghindarimu. Kamu tentu tahu itu. Bukan
karena tak cinta tapi karena aku belum mengerti seperti apa cinta itu. Apakah
perasaan gelisah saat kamu tak menyapaku lewat pesan singkat seperti yang biasa
kamu lakukan dulu setiap malam adalah cinta? Apakah desir desir rindu yang
kurasakan saat kamu tak mengirim kabar adalah cinta? Apakah nyeri yang kurasakan di sekitar ulu hatiku
saat kamu mulai menjauh adalah cinta? Apakah senyum getir yang kuperlihatkan di
depan temanku usai melihatmu bersamanya adalah cinta? Apakah namamu yang
kurapalkan dalam doa yang sarat akan kepasrahan adalah salah satu bentuk cinta?
Aku tak tahu, atau mungkin tak ingin tahu. Entahlah. Aku tak bisa memahami
perasaanku, apalagi perasaanmu.
Hampir setiap
hari kusempatkan waktu untuk mendoakanmu di sela sela teriknya siang dan
dinginnya malam. Jangan tanya mengapa. Aku tak pernah tahu itu. Aku tak
memiliki cukup alasan untuk mengatakannya. Aku tak memiliki cukup keberanian
untuk mengakuinya. Sejujurnya aku tak membutuhkan alasan untuk mendoakanmu
seperti aku tak membutuhkan alasan untuk mencintaimu.
Kini kamu tahu
bagaimana perasaanku. Lalu bagaimana dengan kamu? Apakah kamu juga merasakan yang sama denganku? Aku
tak pernah mengetahuinya. Kamu begitu misterius. Kamu pergi sebelum kamu sempat
mengucap kata cinta. Kamu menjauh sebelum sempat membuat ikatan di antara kita.
Kamu menghilang sebelum kamu sempat jujur tentang perasaanmu, tentang kita.
Sudah berapa lama
ya? Sebulan? Setahun? Entalah, aku tak pernah menghitungnya. Bagiku waktu yang
kita habiskan untuk saling mengenal dulu lebih penting. Tapi apalah artinya itu bagimu. Kamu mungkin sudah
lupa, atau malah sengaja melupakan? Kamu terlalu sibuk mengecap manisnya cinta
dengan yang lain. Sedang aku terlalu sibuk menata hatiku dari serangkaian patah
hati dan kecewa atas kamu dan dia. Sudahlah aku tak mau membahasnya. Terlalu
menyakitkan. Aku tak sanggup jika harus menangis lagi. Aku tak sanggup jika
harus mengulang itu semua. Biarlah seperti ini. Kamu tak tahu yang sebenarnya,
begitu juga aku. Tak usah lagi kita pikirkan. Ah, apa yang kukatakan tadi? Kita?
Sepertinya aku salah. Maksudku tak usah lagi kupikirkan. Biar ini menjadi
rahasia antara aku dan Tuhan, atau kamu dan Tuhan. Seperti yang mereka katakan ”untuk
apa memikirkan perpisahan jika belum sempat meramu kebahagiaan bersama?”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar